Minggu, 22 Juli 2012

Hegemoni

1.1  Landasan Teori
Sebagaimana telah disinggung pada akhir latar belakang masalah bahwa teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah hegemoni dan perlawanan. Hegemoni sering dikacaukan dengan ideologi. Padahal hegemoni berasal dari akar kata hegeisthai (Yunani), berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan lain. Jadi, secara leksikografis hegemoni berarti ‘kepemimpinan’. Adapun ideologi sendiri berarti sistem berpikir. Secara leksikografis ideologi berasal dari akar kata idea + logia/logos (Yunani).[1] Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”. Gramci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinan sebagai suatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa. Hegemoni memperkenalkan dimensi kepemimpinan moral dan intelektual dan mengindikasikan berbagai macam cara yang didalamnya kepemimpinan itu sudah dibangun secara historis.[2] Hegemoni lebih terkait pada pengetahuan yang berdasarkan kesepakatan daripada kekerasan dan perebutan kekuasaan, dalam hal ini adalah kepemimpinan intelektual. Dalam bahasa Yunani Kuno kata hegemoni dipakai untuk menunjukan kedudukan yang lebih kuat.
Adapun istilah ideologi diperkenalkan oleh filsuf Perancis Destutt de Tracy untuk menjelaskan ilmu tentang ide: yaitu sebuah disiplin ilmu yang memungkinkan orang untuk mengenali prasangka-prasangka dan bias-bias mereka. Ideologi adalah nilai-nilai yang melanggengkan struktur kekuasaan dominan atau suatu proses di mana sebuah budaya memproduksi makna dan peran-peran bagi subjek-subjeknya.[3]
Hegemoni dalam Encyclopedia Britanika diambil dari kata “eugemonia” yang dalam praktiknya di Yunani diterapkan untuk menunjukan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual.[4] Dalam penggunaan kata hegemoni menurut pengertian Antonio Gramsci, penguasaan suatu bangsa terhadap bangsa lain. Atau lebih kecilnya penguasaan suatu kelas terhadap kelas lain. Sebelum dikembangkan oleh Gramsci, kata hegemoni telah dipakai oleh beberapa pengikut Marxis, yakni Plechanov, Lenin, Axelrod, dan Lukacs. Hegemoni tersebut merujuk kepada kepemimpinan politik yang dilakukan untuk kaum proletar.[5] Gagasan hegemoni pertama kali diperkenalkan oleh marxis Rusia, Plekhanov pada 1883-1884. Gagasan tersebut telah dikembangkan sebagai bagian dari strategi untuk menggulingkan Tsarisme. Istilah tersebut menunjukkan kepemimpinan hegemoni yang harus dibentuk oleh kaum proletar, dan wakil-wakilnya, dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi Tsaris.[6] Istilah hegemoni ini sebenarnya untuk menunjukkan perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani sebagai tujuan meruntuhkan gerakan Tsarisme.
Antonio Gramsci adalah tokoh neo-Marxis yang hidup pada masa kehancuran revolusi sosial di Eropa Barat 1918-1923, dan menyaksikan organisasi buruh dan gerakan sosialis dihancurkan oleh fasisme pada 1922-1937. Ia menyaksikan betapa kuatnya komitmen sebagian besar masyarakat untuk menegakkan negara modern – kendati tengah menghadapi krisis, ketika mereka kehilangan harapan di dalamnya.[7] Konsep hegemoni memang dikembangkan Gramsci atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis ortodoks.[8] Berdasarkan dua fenomena historis tersebut Gramsci tertarik untuk melihat bagaimana sesungguhnya kekuasaan itu harus ditegakkan. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dengan kesimpulan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar, tetapi sebaliknya kelas buruh terpengaruh oleh kelas-kelas sosial lainnya sehingga kegiatan mereka terlumpuhkan.
Gramsci menambahkan pengertian hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh.[9] Berdasarkan ulasan tersebut hegemoni dapat diartikan sebagai praktik kepemimpinan budaya dan politik yang dilakukan oleh kelas berkuasa dengan perubahan menggunakan ideologi sebagai pengaruhnya. Oleh sebab itu dalam hegemoni sudah barang tentu terdapat ideologi, tetapi tidak sebaliknya.
Mengenai istilah kelas pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Romawi Kuno dan sepanjang sejarahnya istilah itu telah mengalami pergeseran arti. Penguasa Romawi Kuno mengunakan istilah itu dalam konteks penggolongan terhadap pembayar pajak. Mereka membagi masyarakat Romawi menjadi dua golongan yaitu: assidui atau golongan kaya dan proletariat atau golongan miskin. Pada abad ke-18, istilah kelas ini digunakan oleh ilmuan Eropa dalam pengertian yang berbeda dengan pengertian semula, yaitu disebut status atau kedudukan. Pada masa itu, istilah kelas dan status digunakan untuk menunjuk kepada pengertian yang sama. Pada abad ke-19 istilah kelas mulai digunakan dalam konteks analisis kesenjangan sosial yang berakar pada kondisi ekonomi. Sejak Marx mengajukan konsepsi tentang kelas, penggunaan istilah itu dibedakan dalam pengunakan istilah status.[10] Istilah tersebut menunjuk pada dimensi tatanan sosial suatu masyarakat. Kelas merupakan stratifikasi sosial berkenaan dengan hubungan produksi dan penguasaan harta benda. Sedangkan kelompok status menurut Weber merupakan perwujudan stratifikasi sosial berkenaan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan yang mengkonsumsi harta benda sebagaimana yang dicerminkan oleh gaya hidup khusus. Definisi kelas juga disederhanakan oleh Aron menjadi dua kutub definisi, yaitu definisi ilmuan sosiologi Amerika dan definisi  ilmuan sosiologi Eropa.

Definisi ilmuan sosiologi Amerika bercorak nominalis: kelas bukanlah merupakan kolektivitas sosial yang nyata melainkan merupakan kumpulan-kumpulan individu yang memiliki status sosial yang sama. Sistem kelas adalah sama dengan kelas stratifikasi yakni hubungan sosial yang ditentukan oleh pernyataan rasa hormat yang dipandang dari sudut tempat mereka dari sistem kekuasaan. Definisi ilmuan sosiologi Eropa bercorak realis: kelas merupakan kolektivitas sosial yang nyata dan ditegaskan dalam waktu yang bersamaan oleh fakta material dan kesadaran kolektif. Definisi ini membedakan antara lapisan dengan kelas.[11]


Kelas bercorak minimalis memiliki pengertian yang sama dengan strata atau lapisan sosial dalam masyarakat yang dibangun atas dasar rasa hormat akan kedudukan seseorang. Terbentuknya jenis kelas ini tanpa membutuhkan adanya kolektivitas sosial. Adapun kelas bercorak realis berusaha membentuk dan mempengaruhi kesadaran masyarakat berkat adanya kesadaran kolektif dan pendapat umum yang berkembang dalam suatu masyarakat. Kelas jenis ini memungkinkan adanya nilai-nilai ideologis yang terkandung di dalam kolektivitas dan pendapat umum tersebut.
Hegemoni itu sendiri oleh Gramsci diartikan sebagai praktik kepemimpinan budaya yang dilakukan oleh ruling class, yang menjadi isi dari filsafat praxis. Perubahan tidak ditempuh melalui praktik coercion yang menggunakan kekuasaan eksekutif dan legislatif atau intervensi yang dilakukan polisi, melainkan menggunakan ideologi.[12] Dengan demikian ideologi dapat dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu, bersifat seperti kekuatan perekat yang mengikat berbagai kelas dan strata yang berbeda-beda.

Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemoni atau kelompok hegemonik, adalah kelas yang mendapat persetujuan dari kekuatan  dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis.[13]


Dalam hegemoni terdapat hubungan antar kelas melalui kekuatan sosial. Hubungan ini telah mendapat dukungan dari kelas sosial lain. Hubungan dijaga dengan cara mempertahankan sistem tersebut melalui berbagai bentuk perjuangan, menciptakan kontrol sosial, terutama yang bersifat ideologis. Hal ini menciptakan jurang dan kesenjangan sosial tertentu bagi kelas yang tidak setuju sebab hal itu dianggap sumber kekuasaan tunggal.
Hal ini mengingatkan pada konsep Gramsci tentang negara integral di mana kekuasaan tunggal dipegang oleh kelas yang berkuasa tersebut dengan konsensus:
 
Dalam suatu negara integral di dalamnya ada tujuan-tujuan yang didasarkan pada seperangkat gagasan dan nilai, suatu falsafah bersama yang dimiliki oleh sebagian besar orang berdasarkan persetujuan yang aktif dan diberikan secara bebas. Persetujuan tidak dimanipulasi dan tidak dihasilkan oleh ketakutan terhadap kekuatan koersif.[14]

Bagi Gramsci, kekuasaan (hegemoni) mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum tertindas untuk menentang kekuasaan tunggal.[15] Dapat dikatakan, menurut Gramsci, hegemoni terjadi apa bila cara berpikir kelompok tertindas, khususnya kaum proletar atau kelas sosial ini telah terobsesi menerima cara berpikir kelompok dominan yang memegang kekuasaan tunggal tersebut.
Konsep hegemoni Gramsci juga dapat dilihat dari penjelasannya mengenai supremasi kelas:

Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan intelektual dan moral. Dalam hal ini, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk “menghancurkan” atau menundukkan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan bersenjata; di lain pihak, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kelompok sosial akan menjadi dominan ketika ia mempraktikan kekuasaan.[16]

  
Supremasi kelas diwujudkan dalam dua cara yaitu dominasi dan kepemimpinan intelektual. Dominasi dilakukan untuk menundukan lawan dengan cara kekerasan dan bahkan menggunakan senjata. Adapun kepemimpinan intelektual dengan cara memegang kepemimpiannya tanpa kekerasan. Sebuah kelompok sosial akan menjadi dominan bila ia mempraktikan kekerasan. Dapat disimpulkan bahwa supremasi kelas didukung oleh dua konsep yaitu kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance).
Konsep kepemimpinan dan dominasi itu sendiri diterapkan Gramsci karena melihat dua fenomena penting dalam sejarah Rusia (Tsar) dan Italia (Barat) dalam pengambilalihan atau perebutan hegemoni.

Di Timur negara adalah segalanya, masyarakat sipil adalah primordial dan lemah; di Barat, terdapat hubungan yang serasi antara negara dan masyarakat sipil, dan ketika negara mengalami goncangan maka struktur masyarakat sipil segera menggantikannya.[17]

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa pemerintah negara-negara di Timur memiliki kekuasaan yang lebih besar dari masyarakat sipilnya sedangkan di Barat kedudukann antara pemerintah dan mesyarakat sipilnya setara. Melihat kenyataan tersebut, dalam kerangka penyusunan strategi, Gramsci mengembangkan dua konsep yaitu war of movement  atau perang gerakan dan war of potition atau perang posisi. Pernyataan di atas memperlihatkan di Timur (Rusia) perang gerakan sangat berhasil karena kekuatan masyarakat sipil merupakan gabungan dari golongan elit feodal, borjuis, dan intelektual yang berkuasa sedangkan petani yang terpinggirkan posisinya sangat lemah. Sedangkan di Barat (Italia) sebaliknya, kekuatan negara tertanam dalam masyarakat sipil yang kuat dan kompleks. Perang gerakan merujuk pada perebutan kekuasaan yang dilakukan melalui konfrontasi langsung. Dalam hal ini dapat diartikan dalam bentuk kekerasan atau dominasi. Adapun perang posisi sebaliknya, kedudukan masyarakat sipil sama kuatnya sehingga diterapkanlah konsep kepemimpinan.
Sebenarnya hegemoni sendiri melibatkan pendidikan dan pemenangan konsensus, daripada pemakaian kekuatan brutal dan koersi semata.[18] Hegemoni lebih terkait pada pengetahuan yang berdasarkan kesepakatan, daripada kekerasan dan perebutan kekuasaan. Hegemoni bukanlah dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan pendekatan politik dan ideologi.[19] Dalam hal ini adalah kepemimpinan intelektual. Hegemoni dapat dicapai melalui kombinasi antara paksaan dan kerelaan.
Gramsci mengatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah hubungan.[20] Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa relasi atau hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain dapat menciptakan suatu kelas lain. Secara tidak langsung kekuatan kelas lain tersebut menanamkan ideologinya kepada kelas tersebut, terutama dalam bentuk kepemimpinan intelektual dan kelas lain tersebut dapat menerimanya dengan terpaksa ataupun sukarela. Hal ini dapat pula terjadi sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses hegemoni harus dilakukan terus-menerus atau berkelanjutan agar ideologi dapat terus ditanamkan sekaligus terus disetujui oleh kelas tersebut.
Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dan kekuatan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis.[21] Dengan adanya kelas hegemonik atau kelas yang menghegemoni tersebut maka terbentuk kelas lain yang mendukung ideologi kelas hegemonik tersebut. Kelas yang terhegemoni ini dapat berkembang menjadi kelas hegemonik pula. Kelas hegemonik ini dapat terbentuk dari konsep supremasi hegemoni terutama strategi kepemimpinan sekaligus melalui konsensus. Kelas hegemonik yang berhasil membangun blok kekuatan sosial yang mampu bertahan dan mempertahankan aliansinya melalui perjuangan politik dan ideologis sepanjang periode sejarah tersebut disebut Gramsci blok historis (histories bloc).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa praktik hegemoni menekankan lebih kepada konsep kepemimpinan dan konsensus. Ideologi ditanamkan hampir di setiap gagasan dan bidang yang dapat diterima kelas bawah dan dilakukan secara terus-menerus dan bahkan dalam bentuk negosiasi. Negosiasi tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan suatu harapan. Namun ketika jalan negosiasi tidak mendapatkan hasil, para buruh (kelas bawah atau masyarakat sipil) akan melakukan resistensi (perlawanan).[22] Hal ini memperlihatkan kesadaran dan menumbuhkan akal sehat bagi kelas tersebut sehingga tercipta pendapat umum (common sense) yang nantinya akan menjadi kekuatan.

Gramsci mengatakan bahwa kepercayaan popular dan gagasan-gagasan yang serupa (ideologi) adalah juga kekuatan material. Dalam hal ini yang terpenting adalah bahwa gagasan-gagasan atau kepercayaan itu tersebar sedemikian rupa sehingga mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia. Ada tiga cara penyebaran gagasan-gagasan, yaitu melalui bahasa, pendapat umum, dan folklor.[23]


Dari penyebaran gagasan-gagasan tersebut, terlihat pendapat umum lebih memerankan peranan penting dikarenakan melibatkan individu itu sendiri sebagai seorang intelektual. Dalam hal ini akan terlihat pula mana individu, masyarakat atau kelas hegemonik dan kelas yang terhegemoni serta kelas yang kontra terhadap hegemoni.
Adapun masyarakat yang tidak setuju (terutama masyarakat sipil) dengan adanya kelas hegemonik tersebut karena dinilai menindas kepentingan mereka dapat membentuk strategi perlawanan. Masyarakat sipil merupakan suatu wadah di mana kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah (subordinate) dapat menyusun perlawanan mereka dan membangun sebuah hegemoni alternatif – hegemoni tandingan (counter-hegemony).[24]

Massa tidak melahirkan ideologinya sendiri, melainkan dibantu oleh elite (rulling class) yang disebutkan sebagai kelas intelektual, baik intelektual hegemonik maupun intelektual counter hegemonik. Kedua lapisan intelektual itu bertugas untuk mengorganisasi atau mereorganisasi kesadaran maupun ketidaksadaran secara terus-menerus dalam kehidupan massa. Intelektual hegemonik bertanggung jawab untuk menjamin pandangan dunia massa konsisten dengan nilai-nilai kapitalisme yang telah diterima oleh semua kelas masyarakat. Sebaliknya intelektual counter hegemonik mempunyai tugas memisahkan massa dari kapitalisme dan membangun pandangan dunia sesuai perspektif sosialis.[25]

 Dalam arena sosial semacam itu terlihat tidak ada ruang atau ruang publik bagi suatu masyarakat untuk berbuat lain di luar kerangka ideologi kelompok hegemonik. Individu akan dapat keluar dari keadaan yang membatasi dirinya dengan cara melakukan counter hegemoni. Adanya intelektual counter hegemoni membuahkan suatu siasat untuk melakukan perlawanan terhadap kelompok hegemonik tersebut. Kumpulan intelektual counter hegemoni ini dapat membentuk intelektual kolektif.
Dalam setiap masyarakat kelompok intelektual memegang peranan penting. Dalam hal ini Gramsci kemudian membedakan intelektual menjadi dua macam, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah orang-orang yang mengisi posisi ilmiah, seperti sastra, ekonomi hukum, dan sebagainya, termasuk mereka yang terlibat di sekolah, universitas, dan lembaga negara.[26]  Pada intelektual tradisional, fungsi mereka mengarahkan mereka untuk melihat diri mereka sendiri secara bebas dari segala persekutuan kelas atau peran ideologis.[27] Artinya, kelompok intelektual tradisional ini melihat kehidupan sosial dari dalam diri mereka sendiri dan tidak terpengaruh oleh kelas dan ideologi suatu kelompok.
Intelektual organik adalah kelompok yang terbentuk secara organik, yaitu mereka yang merupakan bagian institutif perjuangan kelas.[28] Intelektual organik terbuka untuk memihak kelas tertindas. Intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekadar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah saintifik, tetapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri.[29] Dengan demikian intelektual organik adalah mereka yang mampu merasakan emosi, dan semangat yang dirasakan kaum tertindas, memihak dan mengungkapkan apa yang dialami mereka.
Dari penjabaran tersebut, terlihat bahwa counter hegemoni adalah suatu bentuk tandingan yang dapat memberikan perlawanan terhadap hegemoni. Pelaku counter hegemoni ini disebut sebagai intelektual counter hegemoni. Salah satu ciri yang menonjol dari counter hegemoni adalah hadirnya intelektual organik sebab ia menentang bentuk penindasan hegemoni dan dengan begitu ia dapat melakukan perlawanan. Perlawanan pada akhirnya merupakan kelanjutan dari counter hegemoni. Pada dasarnya, perlawanan sangat terlihat pada masa penjajahan dan perang. Perlawanan yang jelas terlihat adalah perlawanan yang menggunakan senjata atau kekerasan.

In colonized communities, ‘resistence’ enacted as violent military engagement.

Dalam komunitas penjajah, ‘perlawanan’ ditetapkan sebagai kewajiban militer.[30]

 Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pada masa penjajahan, perlawanan digunakan oleh pihak militer sebagai sebuah perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan nasional dari serangan musuh, dalam hal ini adalah peperangan. Dengan demikian perlawanan dilakukan untuk melindungi diri atau negara dari pihak musuh dengan menggunakan persenjataan. Artinya dengan menggunakan kekerasan fisik. Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa secara nyata perlawanan dapat dilakukan dengan langsung untuk melindungi diri atas tekanan atau dominasi dari suatu golongan.
Setidaknya Rigoberta Menchu menemukan dua model perlawanan antara setelah penjajahan, keduanya mempunyai pilihan dalam merespon dominasi penjajah.

He (Mencu’s father) became on organizer of resistance groups throughout Guatemala but was killed in occupation of the Spanish embassy. It’s mean same with all resistance which reduces the struggle to one of brute force.

Beliau (ayah Mencu) setelah menjadi organisator kelompok perlawanan melalui Guatemala tetapi terbunuh dalam perjalanannya ke kedutaan Spanyol. Artinya sama saja dengan semua perlawanan yang mengembalikan perjuangan menjadi suatu gerakan yang bengis.[31]

 Bagi Rigoberta Mencu, perlawanan itu sendiri bersifat diam-diam dan rahasia, seperti dia mengatur kelompok India melawan pemerintahan.[32] Kedua hal tersebut memperlihatkan bahwa perlawanan setelah penjajahan ada dua bentuk. Pertama, perlawanan lewat pergerakan yang dilakukan langsung. Kedua, perlawanan yang bersifat strategi atau bertahap, seperti menanamkan ideologi pada kelompok yang ingin dikuasai. Dari sini terlihat, ideologi dapat menjadi alat perlawanan dalam hegemoni itu sendiri.
Kedua model tersebut memperlihatkan bahwa perlawanan terjadi karena adanya golongan yang menindas atau terdominasi dan perlawanan dapat dilakukan dengan langsung atau dengan hegemoni ulang yaitu dengan menggunakan ideologi. Model kedua ini yang paling menakjubkan, sebuah masa setelah penjajahan adalah sebuah perlawanan yang memanifestasinya sendiri sebuah penolakan menjadi terserap, sebuah perlawanan yang terkait itu dilawan dengan beberapa cara, mengambil basis pengaruh oleh dominasi kekuatan, dan mengubah mereka ke dalam alat untuk mengekspresikan identitas dan budaya sendiri.[33] Bentuk perlawanan ini yang terus berkembang hingga kini.
Berdasarkan hal tersebut perlawanan dalam konteks cultural studies dan sebagai bentuk kelanjutan dari tindakan counter hegemoni. Perlawanan bisa dipahami sebagai sesuatu kekuatan yang bertemu dengan kekuatan lain di mana keduanya adalah kekuatan dan perlawanan. Jadi, dia harus berisi uraian keseimbangan kekuasaan. Dalam konteks cultural studies, menjabarkan suatu tindakan sebagai perlawanan bukan soal kebenaran atau kepalsuan, melainkan soal manfaat dan nilai. Karena komitmen cultural studies terhadap politik budaya insubordinasi dan politik perbedaan, perlawanan adalah suatu konsep normatif. Jadi, perlawanan harus dikerangkakan dalam upaya mewujudkan nilai-nilai tertentu.[34] Dalam hal ini seseorang atau masyarakat selalu memiliki motif tertentu dalam melakukan perlawanan. Motif tersebut paling tidak memiliki nilai atau norma bagi kepentingan yang hendak dicapainya dalam bentuk perlawanan itu.
Salah satu teks penting dalam cultural studies berjudul Resistensi throught Rituals, merangkum pengaruh Gramscian pada tema cultural studies. Di sini, subkultur pemuda dieksploitasi sebagai bentuk budaya perlawanan terhadap budaya hegemonik. Dikatakan bahwa, dalam memberikan reaksi kepada kemunduran nilai-nilai kelas pekerja tradisional, ruang dan tempat, subkultur pemuda berusaha menemukan ulang melalui stilisasi komunitas dan nilai kelas pekerja yang telah hilang.[35] Jika kajiannya adalah budaya masyarakat tertentu, maka masyarakat yang tersubordinasi yang memulai perlawanan terhadap hegemoni budaya sehingga mereka menemukan kembali nilai-nilai yang baru yang dibutuhkan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Sebagian besar perlawanan dibentuk oleh anak muda. Ini terjadi karena anak muda dibebani tanggung jawab yang lebih besar daripada anak-anak tapi tetap di bawah kendali orang dewasa. Anak muda dalam hal ini bukanlah kategori biologis yang universal, melainkan suatu konstruksi sosial yang berubah-ubah yang lahir pada suatu waktu tertentu dalam kondisi yang membatasi.  Menurut Tallcot Parsons, anak muda atau remaja merupakan suatu kategori sosial yang muncul seiring perubahan peran keluarga yang disebabkan oleh perkembangan kapitalisme.[36] Hal ini membentuk asumsi bahwa anak muda merupakan tahap perkembangan di mana sikap dan nilai-nilai terpatri pada ideologi-ideologi selama hidupnya, merupakan masa transisi dari ketergantungan masa anak-anak yang melibatkan fase pemberontakan dan mengalami kesulitan. Anak muda menjadi sebuah penanda ideologis yang mengandung berbagai gambaran tentang masa depan sekaligus menjadi sumber ketakutan bagi orang lain karena potensinya untuk mengancam norma dan peraturan-peraturan yang ada. Dapat dilihat bahwa anak muda memegang peranan sebagai intelektual organik. Mereka dipandang memiliki subkultur yaitu ruang-ruang berbagai budaya yang menyimpang untuk menegosiasikan ruang bagi dirinya sendiri.
Subkultur anak muda ini dilihat sebagai bentuk-bentuk perlawanan terhadap budaya hegemonis yang dilakukan dengan penuh gaya. Gaya dibaca sebagai bentuk perlawanan simbolis yang dibangun di atas wilayah perjuangan hegemonik dan kontra-hegemonik. Namun, ia adalah bentuk perlawanan yang terbatas karena sumber daya simbolis tidak dapat mengatasi posisi struktural kelas pekerja.[37] Pernyataan tersebut menunjukan bahwa gaya di sini semacam cara atau bentuk perlawanan yang dipakai, sebenarnya baik secara simbolis maupun secara langsung. Adapun kontra-hegemonik adalah counter hegemoni itu sendiri yang sedang mencari cara untuk melakukan perlawanan.
Ada begitu banyak jenis metafora yang berbeda di mana pemikiran tentang perubahan budaya terjadi. Metafora-metafora itu dengan sendirinya berubah. Metafora yang memukau imajinasi kita, dan kadang-kadang mengatur pemikiran kita tentang skenario dan kemungkinan adanya tranformasi budaya, membuka jalan bagi metafora baru yang membuat kita berpikir tentang pertanyaan sulit ini dengan cara yang baru. Metafora perubahan lebih merupakan alat ketimbang kategori analitis kebenaran dan kepalsuan. Stuart Hall menyatakan bahwa metafora perubahan melakukan dua hal: mereka membiarkan kita membayangkan bagaimana jika hierarki budaya yang ada ditransformasikan; dan mereka membantu kita ‘berpikir tentang hubungan antara dunia sosial dengan dunia simbolis. Pernyataan tentang ‘perlawanan’ adalah soal manfaat dan nilai ketimbang soal kebenaran dan kepalsuan.[38]
Adapun perlawanan dalam kajian cultural studies ini menawarkan solusi bagi para intelektual counter hegemoni dalam melakukan perlawanan terhadap bentuk hegemoni. Beberapa bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh Stuart Hall dan Tony Bennett:
1)      Perlawanan Bersifat Konjungtural
Hall menyatakan bahwa kekuatan Resistance through Rituals meletakan konsepsi perlawanan bukan sebagai suatu kualitas atau tindakan yang mapan, melainkan secara relasional dan konjungtural. Jadi, perlawanan tidak dipandang secara tunggal dan universal, suatu tindakan yang mendefinisikan dirinya sendiri berlaku diseluruh kurun waktu; namun, ia dibangun oleh serangkaian makna spesifik pada kurun waktu, tempat, dan hubungan sosial tertentu.[39] Dalam tatanan kebudayaan, perlawanan datang tidak hanya karena sebuah motivasi dan kehendak dalam diri sendiri, tetapi juga karena adanya faktor dari luar yaitu kebudayaan itu sendiri yang dianggap sudah tidak dapat lagi menolongnya. Kebudayaan ini yang dibangun oleh serangkaian makna spesifik pada kurun waktu, tempat, dan hubungan sosial tertentu. Dalam pengkajian ini diperlukan beberapa pertanyaan mendasar tentang bentuk perlawanan seperti: Apa atau siapa yang dilawan, dalam kondisi apa perlawanan itu terjadi, dalam bentuk apa perlawanan itu termanifestasi, dan di mana perlawanan itu berlangsung.
Bagi Hall kekuatan resistance through rituals terletak pada konsepsi perlawanan ‘sebagai tantangan dan negosiasi dari tatanan dominan yang tidak dapat diasimilasikan dengan baik kepada kategori tradisional perjuangan kelas revolusioner.[40] Sebenarnya perlawanan dapat dilakukan dengan cara tawar-menawar dengan kelas yang mendominasi dalam praktik budaya karena sifatnya yang berbentuk relasi dan tidak radikal.
2)      Perlawanan sebagai Pertahanan
Bagi Bennett, perlawanan pada dasarnya adalah hubungan defensif (bertahan) dengan kekuasaan budaya yang diadaptasi oleh kekuatan sosial subordinat dalam situasi di mana bentuk-bentuk kekuasaan budaya tersebut muncul dari suatu sumber yang jelas-jelas dialami sebagai sesuatu yang bersifat eksternal atau sebagai ‘liyan’. Jadi, perlawanan muncul dari hubungan kekuasaan dan subordinasi di mana budaya yang mendominasi berusaha memaksakan dirinya kepada budaya subordinat dengan semena-mena. Walhasil, sumber-sumber terletak di dalam beberapa ukuran yang ada di dalam beberapa ukuran yang ada di luar budaya yang mendominasi.[41]
Berdasarkan hal ini, Bennett menawarkan bentuk perlawanan yang cukup keras dan langsung. Hal ini dapat juga diperhatikan dalam bentuk tindakan. Perlawanan berakar pada kondisi budaya kelas pekerja, yang tegak berdiri sebagai sesuatu yang terpisah yang bertentangan dengan budaya kelas berkuasa. Bagi Bennett, ini adalah suatu pencirian produktif atas perlawanan karena telah jelas siapa, di mana, dan kapan perlawanan dalam konstruksi dwi-kutub arena kekuasaan (kelas berkuasa dan kelas pekerja; hegemoni dan subordinasi).[42] Dengan demikian, bentuk perlawanan yang ditawarkan Bennett adalah perlawanan langsung kepada pihak yang mendominasi atau menghegemoni kelas di bawahnya.



[1]  Ibid., hlm. 175-176.
[2]  Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 62.
[3]  Dani Cavallaro, Teori Kritis dan Teori Budaya (terjemahan), (Yogyakarta: Niagara, 2004), hlm. 135-137.
[4]  Nezar Patria & Adi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 115.
[5]  Franz Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 180.
[6]  Robert Bocock, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, (Bandung: Jalasutra), hlm. 22.
[7]  Zainuddin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik, (Surabaya: LPAM, 2003), hlm. 185.
[8]   Nyoman Kutha Ratna, Loc. Cit.
[9] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Kamdani Imam Baehaqi (terjemahan), (Yogyakarta: Insist, 1999), hlm. 21.
[10] AAGN Ari Dwipayana, Kelas dan Kasta, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001),  Ibid., hlm. 27-28.
[11]  Ibid., hlm. 32.
[12]  Zainuddin Maliki, Op. Cit., hlm. 186-187.
[13]  Roger Simon, Op. Cit., hlm. 22.
[14]  Ibid., hlm. 26.
[15]  Nyoman Kutha Ratna, Op. Cit., hlm. 179.
[16]  Nezar Patria & Adi Arief, Op. Cit., hlm. 117.
[17]  Roger Simon, Op. Cit., hlm 31.
[18]  Chris Barker, Op. Cit., hlm. 369. 
[19]  Nyoman Kutha Ratna, Op. Cit., hlm. 183.
[20]  Roger Simon, Op. Cit., hlm. 30.
[21]  Ibid., hlm. 22.
[22]  Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 130.
[23]  Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 70.
[24]  Roger Simon, Op. Cit.,  hlm. 28.
[25]  Zainuddin Maliki, Op. Cit., hlm. 187-188.
[26]  Nyoman Kutha Ratna, Op. Cit., hlm. 184.
[27]  Chris Barker, Op. Cit., hlm. 370-371.
[28]  Nyoman Kutha Ratna, Loc. Cit.
[29]  Franz Magnis Suseno, Loc. Cit.
[30]  Bill Ashcroft, Post-Colonial Transformation, (New York: Routledge, 2001), hlm. 20.
[31]  Ibid., hlm. 18.
[32]  Ibid.
[33]  Ibid., hlm. 20.
[34]  Chris Barker, Loc. Cit.
[35]  Ibid., hlm. 372.
[36]  Ibid., hlm. 422-423.
[37]  Ibid., hlm. 426.
[38]  Ibid., hlm. 358-359
[39]  Ibid.
[40]  Ibid., hlm. 360.
[41]  Ibid.
[42]  Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar